Bahagia Bebas Overthinking

0 Comments

Pernahkah kalian merasa terjebak dalam pusaran pikiran yang terus berputar tanpa henti? Memikirkan suatu hal berulang-ulang, merasa cemas dan bingung, tetapi pada akhirnya tidak menemukan solusi yang jelas? Fenomena ini tidak hanya melanda sebagian orang, tetapi hampir setiap orang pernah merasakannya. Kamu juga, kan?

Entah itu tentang keputusan sulit yang harus segera diambil, hubungan dengan orang lain, atau bahkan sekadar pertanyaan tentang masa depan. Overthinking bisa menghantui kehidupan kita, mengganggu kedamaian pikiran, dan menghalangi kita untuk meraih kebahagiaan.

Namun, apakah overthinking ini benar-benar tidak bisa diatasi? Apakah kita harus terus terjebak dalam siklus kecemasan ini? Di sinilah buku Bahagia Bebas Overthinking hadir sebagai sebuah penuntun agar kita terbebas dari overthinking.

Lantas, apa sebenarnya penyebab overthinking ini? Pirman menjelaskan di halaman 11, bahwa penyebab utama dari overthinking ialah rasa cemas, khawatir, dan takut yang berlebihan. Novy E.R. juga menuliskan bahwa overthinking muncul ketika kita terlalu berlebihan dalam menganalisis masalah dan situasi dalam mengambil keputusan. (Hlm. 46)

Misalnya, kita terlalu mengkhawatirkan masa depan, pekerjaan, relasi, memikirkan keluarga, atau hal-hal yang sebenarnya sepele. Warni Ibrahim menegaskan bila semua itu bisa menjadi overthinking apabila pikiran kita dipenuhi asumsi negatif yang dibangun sendiri padahal hal tersebut belum terjadi—bahkan tidak akan pernah terjadi. (Hlm. 55)

Memang secara alamiah dan dalam kondisi normal, tubuh kita diberikan alarm untuk mendeteksi bahaya. Hanya saja, Leila Rizki Niwanda menuliskan pada halaman 63, bahwa overthinking berpotensi memicu sakit kepala dan ketegangan otot. Pada situasi tertentu, overthinking juga membuat seseorang tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Overthinking juga bisa membuat seseorang tidak fokus hingga mengalami kepanikan. Misalnya bagi ibu pekerja, ia tidak bisa merampungkan pekerjaan dengan baik di kantor ketika memikirkan anaknya di rumah. Sebaliknya, ketika berada di rumah, ia justru cemas memikirkan pekerjaan kantor yang belum selesai. (Hlm. 73-74)

Contoh lainnya, ada pegawai yang tak sengaja terkunci di ruang penyimpanan daging. Keesokan harinya, ia ditemukan telah meninggal dunia. Rekan-rekannya sangat kaget, karena pendingin ruangan itu dalam keadaan tidak menyala. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ternyata, pegawai tersebut panik. Ia menuliskan apa yang dirasakannya—seolah-olah tubuhnya kedinginan—di secarik kertas. Padahal, ia tidak benar-benar kedinginan, tetapi kekalutan pikirannya yang memperburuk kondisi fisiknya sendiri. (Hlm. 80)

Setelah mengetahui begitu berbahayanya overthinking bagi kesehatan tubuh dan mental—jiwa, apa yang harus kita lakukan untuk menghadapinya?

Di halaman 83, Hindun Susilawati memberikan saran, bahwa kita harus menenangkan diri. Kita bisa beristirahat dulu, ambil waktu untuk me time, bisa juga meditasi—mengatur napas agar otot-otot kembali rileks, dan bagi seorang muslim bisa berwudu, melaksanakan salat, berzikir, selawat, berdoa, dan tilawah Al-Qur’an.

Pada tahap tersebut, kalaupun kita masih merasa overthinking, kita harus berusaha untuk mengondisikan diri dalam keadaan positif. (Hlm. 90) Pelan-pelan, kita masukkan kalimat-kalimat positif (doa) ke dalam pikiran, sehingga mentalitas positif akan terbangun, dan sikap positif nantinya akan tampak dengan sendirinya—misalnya sudah bisa tersenyum dengan perasaan lega.

Hasil dari aktivitas tersebut, minimal kita sudah bisa membedakan antara asumsi pikiran—yang belum tentu benar—dengan kenyataan yang tengah terjadi. Kita harus bisa membedakan antara fakta dengan anggapan yang hanya ada di dalam pikiran. Kita coba mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri, apakah ada bukti yang mendukung pikiranku? (Hlm. 97)

Hanya saja, mengambil waktu (jeda) dan afirmasi positif tersebut tidaklah cukup. Menurut Dwi Suwiknyo, lengkapi afirmasi positif tersebut dengan tindakan nyata agar akal kita mendapatkan jawaban secara riil. (Hlm. 109) Misalnya, kita melakukan check and recheck, apakah asumsi kita sesuai kenyataan atau tidak?

Lalu, Attia Mahda menyarankan agar kita mengubah posisi dari overthinker menjadi problem solver. Kita harus berani mengambil keputusan meskipun ada risikonya. Hal itu jauh lebih menyehatkan daripada harus terus-menerus memikirkannya saja. (Hlm. 128)

Setelah melakukan upaya-upaya mandiri tersebut, tentu kita bisa meminta bantuan psikolog atau psikiater apabila overthinking tersebut sering kambuh dan tak kunjung membaik. Dalam proses penyembuhan, jangan lupa untuk berserah diri kepada kepada Allah Swt.

Kemudian, bagi siapa pun yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, sudah seharusnya menjaga anggota keluarga agar tidak terjebak dalam arus overthinking. Sebab, menjadi orang tua bahagia tidak otomatis menghasilkan anak yang bahagia juga, kan?

Di halaman 133, Alifadha Pradana memberikan nasihat agar kita harus melakukan tiga hal: main, ngobrol, dan beraktivitas bareng anak-anak. Sesuaikan jenis mainan, topik obrolan, dan aktivitasnya dengan usia mereka. Dengan melakukan ketiganya secara terus-menerus, diharapkan anggota keluarga selalu berada dalam kondisi yang nyaman dan kondusif. (Hlm. 134)

Nah, semoga dengan melakukan semua saran tersebut, kita tidak lagi kalah dengan pikiran negatif, bisa terlatih menjadi problem solver, sekaligus menjaga kesehatan mental anggota keluarga kita. Siap?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts