Memaafkan, memang terasa sulit. Terlebih bagi seseorang yang memiliki ego yang besar (egois), atau merasa harga dirinya jauh lebih tinggi dari orang lain. Namun, kalau mau jujur, pasti tetap saja ada perasaan tidak nyaman jika kita tidak mau memaafkan. Bukankah itu akan menjadi beban batin seumur hidup?
Untuk itulah, kita perlu belajar memaafkan. Hanya saja, siapa yang harus dimaafkan? Dalam perspektif umum, orang yang telah menyakitilah yang harus kita maafkan. Namun, sesuai penjelasan di buku Belajar Memaafkan ini, kita juga perlu memaafkan kesalahan maupun kecerobohan diri sendiri.
Seperti yang dituliskan oleh Syahruni Thamrin, “Memaafkan diri sendiri dicapai ketika individu berhasil mengenali bahwa mereka tidak sempurna dan bisa gagal menciptakan ideal self bagi diri mereka sendiri.” (Hlm. 3)
Menurut beberapa penulis di buku ini, memaafkan diri sendiri justru menjadi langkah awal sebelum kita memaafkan orang lain. Yakni, ada upaya sungguh-sungguh untuk melegakan perasaan sendiri dulu.
Lantas, apa yang dimaksud dengan memaafkan? Di buku setebal 144 halaman ini, memaafkan diartikan sebagai upaya untuk melepaskan emosi negatif tersebab adanya kebencian, amarah, atau dendam. Barangkali, definisi tersebut masih cukup abstrak, bagaimana memahami proses memaafkan dalam praktiknya?
Umi Hasanah memberikan langkah konkretnya, seperti di halaman 21, ia menuliskan, “… menerima apa yang sudah terjadi dan memilih untuk tidak membiarkannya memengaruhi hidup kita.”
Dari anjuran tersebut, setidaknya belajar memaafkan ini ada dua proses. Pertama, kita harus menerima keadaan yang tidak ideal tersebut. Kedua, apabila penerimaan tersebut terasa hasilnya, hal-hal buruk tidak akan mampu lagi memengaruhi diri kita.
Sayang, terkadang ada orang yang merasa khawatir bila memaafkan orang lain: takut dianggap sebagai pribadi yang rendahan, tidak kuat, atau tidak ada power. Atau, ada pandangan kalau memaafkan orang lain seolah-olah membenarkan perbuatan salah orang tersebut.
Ternyata, asumsi tersebut tidaklah benar. Oleh Naista Distin ditegaskan di sini, bahwa, “… memberikan maaf kepada orang lain tidak akan membuat diri kita menjadi rendah. Memaafkan orang lain bukan berarti kita membenarkan perilaku buruknya.” (Hlm. 31)
Di halaman yang sama, Naista Distin menuliskan jika orang pemaaf itu justru menandakan dirinya bermental sehat dan kuat. Ketika memaafkan kesalahan orang lain, itu juga menjadi bagian dari upaya memberi kesempatan kepada orang—yang berbuat salah—untuk memperbaiki dirinya.
Lalu, kenapa orang yang gemar memaafkan disebut orang yang sehat? Sebab, ketika seseorang tidak mau memaafkan dan lebih memilih memendam dendam, sesungguhnya amarah itulah yang akan membakar hatinya sendiri. Efeknya akan terasa di badan/fisiknya.
Seperti yang diceritakan Warni Ibrahim di halaman 71, “Satu tahun setelah kabar buruk berlalu, diketahui ada benjolan pada leher kanan ….”
Apa yang terjadi? Di cerita tersebut, si tokoh bernama Arum, merasa sakit hati lantaran dikhianati suaminya. Si suami selingkuh dan meninggalkan Arum untuk selamanya. Arum belum menerima perlakuan buruk itu, amarahnya masih tersimpan rapat di hatinya, hingga sangat berpengaruh pada kesehatan tubuhnya.
Akhirnya, tidak hanya lewat jalur medis yang harus ia tempuh untuk pengobatan, tetapi juga terapi diri dengan rutin afirmasi diri, “I forget, I forgive, I let go.” Arum belajar merelakan dan mengikhlaskan perlakuan buruk suaminya, hingga ia benar-benar sembuh dan benjolan itu pun sudah tidak ada lagi.
Begitulah, kalau benar-benar mau memaafkan kesalahan diri sendiri atau orang lain, manfaatnya justru akan dinikmati diri kita sendiri. Sebab, inti dari buku Belajar Memaafkan ini ialah ajakan untuk hidup lebih sehat—secara lahir dan batin.
Selain sehat, apa lagi yang kita rasakan apabila sudah sampai di puncak memaafkan ini? Ialah kedamaian, batin yang damai, dan kebahagiaan. “Hidup akan terasa lebih ringan untuk dijalani, sebab sudah tidak ada lagi beban yang menjadi penghalang langkah kita.” (Hlm. 121)
Ya, tidak ada yang sia-sia dari setiap proses belajar, kan? Termasuk dalam belajar memaafkan. Bila saat ini masih terasa sulit, tetaplah berproses sampai kita memetik dan merasakan sendiri manisnya buah memaafkan.
[] Oleh: Dwi Suwiknyo.