Ibu Mengasuh, Ayah Mendidik

0 Comments

Salah satu kritik yang dilontarkan kepada orang tua saat ini, yakni melepaskan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah. Memang ada alasan klasiknya, orang tua sibuk bekerja di luar rumah sehingga pengasuhan dan pendidikan anak di rumah cenderung terabaikan.

Di dalam buku ini, Attia Mahda punya dugaan lain. Menurutnya, bisa jadi ada ‘anak kecil dalam tubuh orang dewasa’. Kemungkinan adanya utang pengasuhan. Ketika menjadi ibu atau ayah, belum sepenuhnya siap dalam menjalani perannya. Hal ini harus diselesaikan terlebih dahulu: mohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada anak atas kondisi yang dialaminya. (Hlm. 6)

Meski belum sepenuhnya sembuh, bukan berarti kita berhenti menjalani peran sebagai orang tua, kan? Dalam kondisi normal atau tidak, proses mendampingi tumbuh kembang anak tetap harus berjalan. Tentunya, strategi mengasuh dan mendidik anak harus disesuaikan dengan perkembangan anak-anak.

Ayah—sebagai pemimpin keluarga—sudah sepatutnya hadir dan terjun langsung dalam mendidik anak. Di dalam buku Ibu Mengasuh Ayah Mendidik ini, Budi Ismail menyarankan supaya ayah meniru gaya mendidik anak dari seorang pelatih tim sepak bola. (Hlm. 8)

Beberapa hal fundamental yang disarankan Budi, misalnya bagaimana tim sepak bola berlatih disiplin, tanggung jawab, mengenali potensi anak, jangan lupa pendidikan karakter dan attitude. Termasuk di dalamnya perihal kepiawaian bekerja sama dalam sebuah tim. Alhasil, anak akan menjiawai nilai-nilai sportivitas dan memiliki rasa percaya diri yang bagus. (Hlm. 14)

Saran tersebut dikuatkan oleh Sendang Pradani, bahwa ibu dan ayah seharusnya menjadi support system bagi anak-anak. Caranya dengan mendampingi tanpa mengekang, supaya muncul kemandirian dalam diri anak. Termasuk kemampuan anak dalam beradaptasi di segala situasi. (Hlm. 18)

Dalam hal ini, Sendang menjelaskan apa yang ia lihat dan pelajari dari parenting di Australia. Meski tak harus plek-ketiplek (sama persis), ada banyak hal yang bisa dipelajari. Misalnya, orang tua tak malu ikut bermain bareng anak-anak di ruang terbuka, mengatur jadwal harian dengan prinsip work life balance, dan termasuk orang tua makan malam bersama anak-anak. (Hlm. 19)

Apabila anak merasa kesal dan marah, saran dari Anindityas Irawati layak kita pertimbangkan, yakni tetap menemani anak, jangan dimarahi dan hindari membentak mereka. Ajak mereka meluapkan isi perasaannya dalam bentuk tulisan, coretan, maupun gambar. Itu dilakukan supaya emosi anak bisa tersalurkan dengan baik tanpa melukai siapa pun. (Hlm. 31-32)

Sedangkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, ada baiknya diberikan pendekatan spesial. Misalnya dengan mengajaknya bermain buku cerita agar kosakata ataupun kemampuan bahasanya meningkat. Bagi keluarga muslim, anak diperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk menstimulus sensoriknya. Dengan begitu, mereka akan lebih tenang dan bisa merespons lingkungan sosialnya dengan lebih baik. (Hlm. 40)

Lalu, bagaimana jika orang tua memiliki banyak anak? Belajar dari keluarga Gen Halilintar, Arik Eko Santi menyarankan agar anak-anak perlu diajarkan tentang peran dan kontribusi dalam pekerjaan rumah. Cara ini tidak hanya meringankan tugas orang tua, tetapi juga melatih mereka agar terbiasa bekerja sama (team work). (Hlm. 45)

Jangan lupa juga orang tua menyiapkan anak-anak menghadapi masa akil balignya. Menurut Jajang Syaeful Milah, orang tua tidak perlu merasa tabu untuk membicarakan perubahan anak secara biologis, memberikan pendidikan seksual, termasuk konsekuensinya dalam beragama. Hal ini perlu dilakukan untuk menyiapkan mental dan psikis, supaya mereka bisa tumbuh dewasa tanpa adanya kekosongan batin (tidak merasa hampa saat dewasa). (Hlm. 54-55)

Ayah dan ibu harus bekerja sama dengan baik. Menurut Hindun Susilawati, anak membutuhkan teladan ketegasan dan keteguhan memegang prinsip dari ayah. Anak juga membutuhkan teladan empati dan kasih sayang dari ibu. Ayah harus melakukan perannya sebagai pelindung keluarga. Ibu pun harus melakukan perannya sebagai pemberi kehangatan dan kasih sayang. (Hlm. 59)

Satu hal yang penting dan tidak boleh terlewat, ialah pendidikan agama untuk anak-anak. Sebab agama bisa memperkuat identitas sekaligus menjadi bekal hidup anak. Mereka akan tahu mana saja yang baik dan buruk, termasuk di dalamnya tentang kesadaran spiritual. Sehingga anak-anak punya landasan yang jelas dalam menjalani hidup dan tahu alasan kenapa mereka harus berakhlak mulia (berperilaku baik). (Hlm. 67)

Sebagai penjagaan sekaligus penambahan ilmu anak-anak, orang tua bisa menghidupkan literasi di rumah. Umi Hasanah memberikan saran, seperti menyediakan buku bacaan sesuai minat anak, aktif mengajak anak berdiskusi tentang satu topik dalam buku tersebut, serta ajari anak dalam memanfaatkan teknologi (digital) dengan benar. Tujuannya, agar anak memiliki kemampuan bernalar yang baik. (Hlm. 73) 

Hanya saja, bagaimana bila kondisi ibu sebagai single parent? Tidak apa-apa, ibu masih bisa berperan sebagai pengasuh sekaligus pendidik bagi anak-anak. Ibu tetap lembut dalam membimbing sekaligus tegas saat menegakkan aturan demi kebaikan bersama. (Hlm. 96)

Terakhir, anak-anak berhak untuk bahagia. Ajak mereka jalan-jalan dan berwisata. Pilih tempat yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memiliki nilai-nilai edukasi, dan menambah pengalaman/wawasan mereka. (Hlm. 112)

Nah, untuk (calon) orang tua, sudahkah kita (siap) menjadi ibu yang mengasuh dan ayah yang mendidik sehingga bisa menjadi teladan kebaikan untuk anak-anak di kehidupan sehari-harinya?

[] Oleh: Dwi Suwiknyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts