Galau. Itu salah satu kata yang paling cocok untuk menggambarkan kondisi seseorang di usia 20-an hingga 30-an awal. Di usia ini, banyak orang yang dilanda kebingungan, keraguan, dan tekanan yang sering kali menjadi akar dari galau itu sendiri.
Masalahnya, bagi sebagian orang yang baru mengalaminya, masa transisi menuju dewasa ini sangat merepotkan. Pada kadar tertentu, bahkan bisa menghambat produktivitas dan menyebabkan seseorang terganggu kesehatan mentalnya. Oleh karena itu, kita perlu mencari tahu fenomena yang dialami banyak orang ini dan strategi untuk mengatasinya.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada individu di usia 20-an hingga 30-an awal? Bagaimana mengatasi rasa galau yang sering menyelimuti individu di masa transisi (remaja ke dewasa) ini? Adakah kiat khusus agar dapat melewati gejolak di fase ini?
Ries Murdiani menuliskan di buku ini, bahwa salah satu penyebab utamanya adalah clueless, karena baru pertama kali mengalami banyak hal baru dalam hidup.
“Clueless adalah kondisi ketika seseorang merasa serba tidak tahu tentang dirinya, apa yang diinginkan, dan apa yang harus dilakukan.” (Hlm. 19)
Pada kondisi clueless, tentu bantuan dari orang lain sangat dibutuhkan. Seperti cerita dari tokoh Hafiz—ditulis oleh Attia Mahda—yang dilanda kebingungan karena telah merasa salah memilih jurusan kuliah.
Hafiz sempat berpikir ingin berhenti kuliah saja dan bekerja, tetapi diberi nasihat oleh ayahnya untuk tetap melanjutkan tanggung jawabnya di perguruan tinggi itu. Dukungan dan nasihat dari orang terdekat sangat dibutuhkan di fase-fase seperti ini.
“Supporting system ini, menguatkan kita bersabar untuk berjalan on the track. Bisa jadi ada momen kita harus mengatur ulang langkah dan strategi.” (Hlm. 5)
Selain mengatasinya secara langsung, kita juga dapat mengantisipasi munculnya berbagai gejala quarter life crisis dengan lebih fokus pada diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Pirman, “Kita memang tidak sedang berlomba dengan orang lain. Kita hanya sedang berlomba dengan diri sendiri. Kita hari ini berlomba dengan diri kita kemarin.” (Hlm. 10)
Meskipun begitu, masih menurut Pirman, keriuhan di media sosial dapat membuat upaya untuk fokus pada diri sendiri jadi lebih menantang. “Standar kita bukan lagi kebaikan, tapi pada apa yang viral.” (Hlm. 10)
Oleh karena itu, David Aji Pangestu menawarkan solusi berupa puasa media sosial. Dengan mengurangi penggunaan medsos, seseorang akan terhindar dari suasana hati yang keruh karena melihat pencapaian orang lain.
Solusi itu juga dapat meningkatkan kepuasan pada diri sendiri karena tidak lagi terpapar oleh pencapaian orang yang tidak kita ketahui terkait proses yang telah dilaluinya.
“Dengan mengurangi penggunaan media sosial, seseorang akan lebih fokus pada diri sendiri dan tidak membuang waktu luangnya untuk sesuatu yang sia-sia serta tanpa tujuan seperti scrolling media sosial.” (Hlm. 17)
Dengan fokus pada diri sendiri—melalui puasa media sosial—kita akan lebih mudah dalam mengucapkan syukur atas semua hal yang telah terjadi dalam hidup ini. Pasalnya, individu yang mengalami quarter life crisis umumnya terlalu membanding-bandingkan—bukan untuk tujuan positif—sehingga hasilnya pun kontraproduktif.
Sebaik apa pun hasil yang telah diraih, rasanya akan selalu kurang. Sebesar apa pun pencapaian, rasanya tidak pernah puas. Padahal, rasa syukur sangat dekat dengan kepuasan terhadap diri sendiri. Bukan rasa puas yang melalaikan, tetapi yang memantik rasa syukur dan keinginan terus memperbaiki diri.
Selain itu, syukur itu tidak hanya bisa diamalkan ketika mendapatkan pencapaian besar. Sebab, setiap pencapaian itu berharga dan layak disyukuri. Sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Nurdin, “Bersyukur tidak perlu menunggu hasil yang besar, karena ada banyak hal dianggap kecil yang membuat kamu hebat dan mempunyai keunikan diri dibandingkan orang lain, dan kamu patut bersyukur akan hal itu.” (Hlm. 32).
Pastinya, quarter life crisis adalah fase yang tidak mudah. Namun, seperti fase-fase hidup lainnya, kondisi ini perlu kita hadapi dan atasi. Buku ini cukup lengkap dalam membahas salah satu fase paling membingungkan yang dihadapi banyak orang.
Bukan sekadar definisi dan jawaban yang kaku terkait quarter life crisis, tetapi juga disajikan berbagai kisah inspiratif dari para penulis yang dapat diambil pelajarannya. Mulai dari cerita-cerita ringan saat kuliah hingga kebimbangan dalam memilih suatu pekerjaan. Bahkan ada penulis yang menjelaskan quarter life crisis dengan pendekatan sejarah!
Tertarik membaca buku Quarter Life Crisis ini?
[] Oleh David Aji Pangestu.
Buku yang sangat menarik, dan inspiratif ini, wajib kamu miliki. Hanya seharga tiga seduhan sturbak coffe.